Mar 28, 2011

Kenapa Allah guna 'KAMI' dalam al-Quran?


Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka, apabila Kami menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka. [al Insan, 76:28]
Mengapakah Allah menggunakan perkataan 'KAMI' untuk mewakili Diri-Nya?

jawapannya adalah;

Dalam tata bahasa Arab, ada kata ganti pertama singular (ana), dan ada kata ganti pertama plural (nahnu). Ia sama dengan tata bahasa lainnya. Akan tetapi dalam bahasa Arab, kata ganti pertama plural dapat dan sering, difungsikan sebagai singular. Dalam gramer (nahu atau saraf) Arab hal ini disebut “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i”, kata ganti pertama yang mengagungkan dirinya sendiri. Ini kerana dhamir ‘NAHNU’ ialah dalam bentuk jamak yang berarti kita atau kami tetapi dalam ilmu NAHU, maknanya tak cuma kami, tapi aku, saya dan lainnya.

Permasalahannya terjadi setelah al-Quran yang berbahasa Arab, dengan kekhususan gramer atau nahunya diterjemahkan ke dalam bahasa lain termasuk Indonesia, yang tak mengenal “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i” tersebut. Akan tetapi, setelah mengetahui perbedaan gramer ini, masalah kejanggalan ini segera dapat dimengerti dan dimaklumi.

Bagaimana mungkin aqidah Islam yang sangat logis dan kuat itu mau ditumbangkan cuma dengan bekal logika bahasa yang setengah-setengah. Ertinya jika memang “KAMI” dalam Qur’an diartikan sebagai lebih dari satu, lalu mengapa orang arab yg jauh lagi faham akan bahasa arab tidak menyembah lebih dari satu ALLAH? Seharusnya merekalah terlebih dahulu meninggalkan Islam dan al-Quran. Namun ini tidak berlaku kerana mereka memang mengetahui istilah KAMI ini adalah hanya perbezaan “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i” ini. Ya memang al-Quran itu bahasa mereka sendiri.


Selain kata ‘Nahnu”, ada juga kata ‘antum’ yang sering digunakan untuk menyapa lawan bicara meski hanya satu orang. Padahal makna `antum` adalah kalian (jamak). Secara rasa bahasa, bila kita menyapa lawan bicara kita dengan panggilan ‘antum’, maka ada kesan sopan dan ramah serta penghormatan ketimbang menggunakan sapaan ‘anta’.

Kata 'Nahnu' tidak selalu bermakna banyak, tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini dipelajari dalam ilmu balaghah. Contoh: Dalam bahasa kita ada juga penggunaan kata “Kami” tapi bermakna tunggal. Misalnya seorang Kepala Sekolah dalam pidato sambutan berkata,”Kami sebagai kepala sekolah berpesan" padahal Kepala Sekolah hanya dia sendiri dan tidak banyak, tapi dia bilang “Kami”. Lalu apakah kalimat itu bermakna bahwa Kepala Sekolah sebenarnya ada banyak, atau hanya satu?

Kata “kami” dalam hal ini digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan nilai kesopanan. Tapi rasa bahasa ini mungkin tidak bisa diserap atau dihayati oleh orang asing yang tidak mengerti rasa bahasa. Atau mungkin juga karena di barat tidak lazim digunakan kata-kata seperti itu.


Maka kesimpulannya;

Penggunaan perkataan 'KAMI' yang merujuk kepada ALLAH di dalam al-Quran berkaitan dengan seni tatabahasa Bahasa Arab itu sendiri. Ia bukanlah bermaksud jamak atau ramai. 'KAMI' itu tetap merujuk kepada ALLAH yang Satu.

Inilah hikmah al-Quran diturunkan dalam Bahasa Arab. Nabi Muhammad SAW adalah orang arab, dan masyarakat di sekeliling baginda adalah orang arab, mereka sangat arif dengan bahasa mereka, dan mereka faham apa yang diturunkan dalam bahasa mereka. Masalah berkaitan perkataan KAMI ini tidak timbul ketika itu, kerana mereka faham bahasa mereka, bahawa KAMI yang dimaksudkan bukanlah bermaksud jamak, tetapi membawa erti satu penghormatan dan keagungan, dan ia tetap merujuk kepada Yang Satu.

wallahu a'lam, semoga bermanfaat. isi diperoleh dari sini.

Mar 27, 2011

Anda biasa tidur lepas subuh?



Kita telah ketahui bersama bahwa waktu pagi adalah waktu yang penuh berkah dan di antara waktu yang kita diperintahkan untuk memanfaatkannya. Akan tetapi, pada kenyataannya kita banyak melihat orang-orang melalaikan waktu yang mulia ini. Waktu yang seharusnya dipergunakan untuk bekerja, melakukan ketaatan dan beribadah, ternyata dipergunakaan untuk tidur dan bermalas-malasan.

Saudaraku, ingatlah bahwa orang-orang sholih terdahulu sangat membenci tidur pagi. Kita dapat melihat ini dari penuturan Ibnul Qayyim ketika menjelaskan masalah banyak tidur yaitu bahwa banyak tidur dapat mematikan hati dan membuat badan merasa malas serta membuang-buang waktu. Beliau rahimahullah mengatakan,

“Banyak tidur dapat mengakibatkan lalai dan malas-malasan. Banyak tidur ada yang termasuk dilarang dan ada pula yang dapat menimbulkan bahaya bagi badan.

Waktu tidur yang paling bermanfaat yaitu :

[1] tidur ketika sangat butuh,

[2] tidur di awal malam –ini lebih manfaat daripada tidur di akhir malam-,

[3] tidur di pertengahan siang –ini lebih bermanfaat daripada tidur di waktu pagi dan sore-. Apalagi di waktu pagi dan sore sangat sedikit sekali manfaatnya bahkan lebih banyak bahaya yang ditimbulkan, lebih-lebih lagi tidur di waktu ‘Ashar dan awal pagi kecuali jika memang tidak tidur semalaman.

Menurut para salaf, tidur yang terlarang adalah tidur ketika selesai shalat shubuh hingga matahari terbit. Karena pada waktu tersebut adalah waktu untuk menuai ghonimah (pahala yang berlimpah). Mengisi waktu tersebut adalah keutamaan yang sangat besar, menurut orang-orang sholih. Sehingga apabila mereka melakukan perjalanan semalam suntuk, mereka tidak mau tidur di waktu tersebut hingga terbit matahari. Mereka melakukan demikian karena waktu pagi adalah waktu terbukanya pintu rizki dan datangnya barokah (banyak kebaikan).” (Madarijus Salikin, 1/459, Maktabah Syamilah)

BAHAYA TIDUR PAGI [1]

[Pertama] Tidak sesuai dengan petunjuk Al Qur'an dan As Sunnah.

[Kedua] Bukan termasuk akhlak dan kebiasaan para salafush sholih (generasi terbaik umat ini), bahkan merupakan perbuatan yang dibenci.

[Ketiga] Tidak mendapatkan barokah di dalam waktu dan amalannya.

[Keempat] Menyebabkan malas dan tidak bersemangat di sisa harinya.

Maksud dari hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnul Qayyim. Beliau rahimahullah berkata, "Pagi hari bagi seseorang itu seperti waktu muda dan akhir harinya seperti waktu tuanya." (Miftah Daris Sa'adah, 2/216). Amalan seseorang di waktu muda berpengaruh terhadap amalannya di waktu tua. Jadi jika seseorang di awal pagi sudah malas-malasan dengan sering tidur, maka di sore harinya dia juga akan malas-malasan pula.

[Kelima] Menghambat datangnya rizki.

Ibnul Qayyim berkata, "Empat hal yang menghambat datangnya rizki adalah [1] tidur di waktu pagi, [2] sedikit sholat, [3] malas-malasan dan [4] berkhianat." (Zaadul Ma’ad, 4/378)

[Keenam] Menyebabkan berbagai penyakit badan, di antaranya adalah melemahkan syahwat. (Zaadul Ma’ad, 4/222)



[1] Pembahasan berikut disarikan dari tulisan Ustadz Abu Maryam Abdullah Roy, Lc yang berjudul ‘Tholabul ‘Ilmi di Waktu Pagi’ dan ada sedikit tambahan dari kami.

****

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com, link asal, klik di sini.